PERBANDINGAN KIDUNG DAN ADZAN..

Kidung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kidung merupakan kosakata bahasa Jawa tengahan dan termasuk dalam klasifikasi kata benda yang mempunyai padanan dengan tembang atau sekar 'nyanyian' dalam bahasa Jawa baru.[1] Bentuk verba kidung dalam bahasa Jawa tengahan menjadi mangidung 'bernyanyi'. Dalam bahasa Jawa baru juga mengenal istilah kidung yang memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kidung dalam bahasa Jawa tengahan, dan bentuk verbanya menjadi ngidung atau angidung. Selain itu, terdapat perbedaan pengertian antara kidung sebagai suatu puisi yang berupa tembang dan sekar tengahan atau tengahan sebagai pola metrum[2].

Referensi

  1. ^ 1953-, Saputra, Karsono H., (2001). Puisi Jawa struktur dan estetika (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Wedatama Widya Sastra. ISBN 9799653010. OCLC 48100094.
  2. ^ Robson, S.O. (1971). Wangbang Wiideya. A Javanese Pañji Romance. The Hague: Martinus Njhoff.

ADZAN

 Azan (ejaan KBBI) atau adzan (Arab: أذان) merupakan panggilan bagi umat Islam untuk memberitahu masuknya salat fardu. Dikumandangkan oleh seorang muadzin setiap salat lima waktu.

Sejarah azan dan iqamah

Azan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Mulanya, pada suatu hari Nabi Muhammad S.A.W mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara memberitahu masuknya waktu salat dam mengajak orang ramai agar berkumpul ke masjid untuk melakukan salat berjamaah.
Di dalam musyawarah itu ada beberapa usulan. Ada yang mengusulkan supaya dikibarkan bendera sebagai tanda waktu salat telah masuk. Apabila benderanya telah berkibar, hendaklah orang yang melihatnya memberitahu kepada umum. Ada juga yang mengusulkan supaya ditiup trompet seperti yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi.
Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang biasa dilakukan oleh orang Nasrani. Ada seorang sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu salat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi di mana orang-orang bisa dengan mudah melihat ke tempat itu, atau setidaknya, asapnya bisa dilihat orang walaupun berada di tempat yang jauh. Yang melihat api itu, hendaklah datang menghadiri salat berjamaah.
Semua usulan yang diajukan itu ditolak oleh Nabi. Tetapi, dia menukar lafal itu dengan assalatu jami’ah (marilah salat berjamaah). (KYP3095) Lantas, ada usul dari Umar bin Khattab jika ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk salat pada setiap masuknya waktu salat. Kemudian saran ini bisa diterima oleh semua orang dan Nabi Muhammad S.A.W juga menyetujuinya.

Asal muasal azan dan iqamat

Lafal azan tersebut diperoleh dari hadis tentang asal muasal adzan dan iqamah:
Kejadian dalam hadits tersebut terjadi di Madinah pada tahun pertama Hijriah atau 622 M.[2]

Adab azan

Adapun adab melaksanakan azan menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:

Kriteria muazin

  1. Muslim dan berakal;[3]
  2. Baik agamanya;
  3. Diutamakan orang dewasa, namun jika terpaksa anak kecil tidak mengapa;
  4. Memiliki sifat amanah;[4]
  5. Tidak menerima upah azan;[5]
  6. Suara muazin lantang dan merdu;[6][7][8]

Ketentuan dan tata cara azan

  1. Muazin disunnahkan suci dari hadas besar dan kecil;[9]
  2. Berdiri;[10]
  3. Muazin menghadap ke arah kiblat ketika mengumandangkan azan;
  4. Melakukan azan ditempat tinggi, atau dengan pengeras suara;
  5. Memperhatikan tajwid, memperlambat azan dan mempercepat iqamah;
  6. Meletakkan jari-jari di telinga ketika adzan;[11]
  7. Menengok ke kanan dan ke kiri ketika haya’alatain;[12]

Menjawab azan

Apabila mendengar suara azan, disunahkan untuk menjawab azan tersebut sebagaimana yang diucapkan oleh muazin, kecuali apabila muazin mengucapkan: "Hayya alash-shalah", "Hayya alal-falah", dan "Ashsalatu khairum minan-naum" (dalam azan Subuh).
Apabila muazin mengucapkan "Hayya alash-shalah" atau "Hayya alal-falah", disunahkan menjawabnya dengan lafal "La haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil 'azhim" yang artinya "Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah". Apabila muazin mengucapkan "Ashsalatu khairum minan-naum" dalam azan Subuh, disunahkan menjawabnya dengan lafal "Shadaqta wa bararta wa ana 'ala dzalika minasy syahidin" yang artinya "Benarlah engkau dan baguslah ucapanmu dan saya termasuk orang-orang yang menyaksikan kebenaran itu".

Daftar pustaka

  • Ensiklopedia Islam. 1997 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Catatan kaki

  1. ^ Hadis riwayat Abu Dawud (499), at-Tirmidzi (189) secara ringkas tanpa cerita Abdullah bin Zaid tentang mimpinya, al-Bukhari dalam Khalq Af'al al-Ibad, ad-Darimi (1187), Ibnu Majah (706), Ibnu Jarud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan Ahmad (16043-redaksi di atas). At-Tirmidzi berkata: "Ini hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh jamaah imam ahli hadits, seperti al-Bukhari, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan yang lainnya. Demikian diutarakan al-Albani dalam al-Irwa (246), Shahih Abu Dawud (512), dan Takhrij al-Misykah (I: 650).
  2. ^ (Indonesia)Saiyid Sabiq. 1974 Fikih Sunnah 1, Bandung: PT Alma'arif. h. 197.
  3. ^ "...dan kalaulah mereka berbuat syirik niscaya gugurlah amalan mereka semuanya.” (Al An’am: 88)
  4. ^ “Imam adalah penanggung jawab sedangkan muadzin adalah orang yang bisa dipercaya…” (HR. Ahmad (6872), dll dari Abu Hurairah)
  5. ^ “Jadikan muadzin yang tidak mengambil upah dalam adzannya.” (HR. Abu Dawud (447) dari Utsman bin Abil Ash)
  6. ^ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdullah bin Zaid: “Lakukanlah bersama Bilal, ajarkan kepadanya apa yang kamu lihat dalam mimpimu, dan hendaklah dia beradzan karena dia lebih tinggi dan bagus suaranya dari kamu.” (HR. Tirmidzi (174) dan Ibnu Majah (698) dari Abdullah bin Zaid)
  7. ^ “Jika kalian adzan, angkatlah suara kalian karena tidaklah ada makhluk Allah yang mendengar adzan kalian, baik jin, manusia, atau apa saja kecuali masing-masing mereka akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari (574) dari Abu Said Al Khudri)
  8. ^ “Sesungguhnya dia (Bilal) lebih lantang dan merdu suaranya dibandingkan engkau (Abdullah bin Zaid).” (HR. Tirmidzi dari Abdullah bin Zaid)
  9. ^ “Suatu hari saya (bilal) berwudlu kemudian saya berdiri untuk melakukan adzan salat.” (HR. Abu Dawud, hasan shahih)
  10. ^ “Berdirilah wahai Bilal kemudian serukanlah adzan untuk salat.” (HR. Tirmidzi (175) dari Abdullah bin Zaid)
  11. ^ Dari Abu Juhaifah ia berkata, “Aku melihat Bilal adzan dan aku ikuti bibirnya ke arah sini dan ke arah situ dan jari tangannya berada di dalam kedua lubang telinganya.” (HR. Bukhari (598), Muslim (777) dari Abu Juhaifah)
  12. ^ Nabi S.A.W: “Saya berusaha mengikuti bibirnya, mengucapkan ke kanan dan kiri hayya ‘alash shalah – hayya ‘alal falaah.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Juhaifah) 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERBANDINGAN KIDUNG DAN ADZAN.."

Posting Komentar